Selasa, 16 Maret 2010

Semua permasalahan yang merantai hidup seakan membuat kita ingin kembali ke dalam rahim ibu dimana kita bisa meringkuk damai.


Tapi nyatanya inilah hidup. Tempat kita terjatuh dan belajar bangkit. Tempat kita bermain bola dan merasakan hujan. Tempat kita mengenal rasanya jatuh hati. Maka. . syukurilah!.

(Mama)

***

Ma, aku mulai merindukan semua tentangmu saat ini. Aku rindukan kecerewetanmu saat nasi di piringku tersisa atau di kala kebiasaanku bergadang menjadi-jadi karena mata tak kunjung berdamai dengan insomnia. Kau pasti akan mengomel apabila tahu belakangan ini ku masih bermain bola dengan bertelanjang kaki, hobi menuruni tebing yang tingginya puluhan meter dan berkelana di hutan-hutan kota. Malam ini, nasihat dan petuahmu seperti tersaji di dinding-dinding kamarku.


Masih ku ingat jelas malam itu. Dalam suhu tubuh yang teramat tinggi, ku meringkuk dalam dekapanmu. Aku tak ingin lemah sebagaimana semua perempuan di keluarga kita seakan tak boleh memiliki air-mata. Tapi penyakit begitu menyiksa. Sakit di sekujur tubuh memaksa tetesan-tetesan hangat meleleh di pipiku. Sontak saat itu ku bertanya, ’Mah, teteh boleh nangis yah?,’ dan dengan lembut kau menjawab, ’Iya, ga apa-apa.’ Serta-merta ku rasakan lenganmu semakin erat memelukku. Meski tak ku lihat, ku tahu matamu juga basah. Hingga saat itu ku bersumpah dalam hati tak akan pernah lagi membuatmu khawatir sampai harus mengurai tangis.


Menyakitkan rasanya bila mengetahui apa yang paling ku takuti malah tak bisa dihindari. Mengetahui bahwa suatu saat wajah malaikatmu akan tercemar kecewa. Aku sangat yakin rahasiaku akan membuncahkan amarah. Tetapi sebelum semua kesedihan itu ada, aku ingin tetap menemanimu disini. Membicarakan padi-padi di sawah kita yang kau panen sendiri. Mencicipi lezat masakanmu yang selalu membuatku merasa lapar. Menghayati keasyikanmu bercerita ketika membayangkan aku dilamar, duduk di pelaminan dan memberikanmu belasan cucu. Hah. . entah sampai kapan kedamaian ini bertahan.


Ma, aku ingin jujur padamu. Mungkin berlembar-lembar do’a tak kan pernah bisa memanggilku kembali. Inginku terus takdzim kepadamu tapi garis hidup kini memapahku menjauh dari ajaranmu. Akankah kita mampu menerima bahwa rahasia itu telah menciptakan jarak antara kita?. Jarak yang tak terlihat tapi semakin pekat ku rasakan. Takdir ini telah memilihku dan dengan sukarela ku masuki. Takdir yang menjelma rahasia yang ingin selamanya ku sembunyikan darimu.


Dan kini aku telah jatuh cinta padanya. Perempuanku. Namanya Elsya dan perangainya selembut Bidadari. Dia. . perempuan yang ku pilih untuk menemaniku menjajaki waktu. Engkau tak perlu khawatir lagi akan diriku karena ku tahu dia akan menjagaku dengan hidupnya, begitupun sebaliknya.


Masakannya konon tidak kalah lezat dengan masakanmu. Jadi kau tak perlu mengomel karena berat badanku yang terus-terusan menyusut. Mungkin suatu saat, aku bisa melihat kalian memasak bersama. Dan ketika malam tiba, dia akan membantuku terlelap melupakan insomnia dan memelukku hangat dalam tidurnya. Dia. . sebuah muara dimana akan ku labuhkan semua hidupku. Ma, betapa sangat ingin ku memperkenalkan dia padamu.


Berdosakah bila aku mencintai perempuanku, Ma?. Tentu agama kita mengatakan itu dosa. Tetapi engkau bukanlah agama. Kau ibundaku. Seseorang yang pasti akan mengerti kegelisahan hati yang selama ini ku rasa. Jika rahasia ini ku urai, engkau mungkin akan marah sejadi-jadinya tapi ku yakin, kau akan bisa memaafkan. Meski moral dan stigma akan memandang kita dalam rasa jijik.


Mama, ijinkan aku menangis sekali lagi. Kali ini bukan karena penyakit yang mengerogoti tubuh tapi karena sakit yang yang terbit di dadaku. Sulit bagi lidahku menyampaikan kebenaran yang ada, sebuah kejujuran bahwa aku. . lesbian. Entah kapan aku bisa terbuka padamu. Entahlah. Saat ini, aku hanya ingin mengecup keningmu dan berucap. . “Terima kasih telah meniupkan cinta yang indah di 22 tahun hidupku ini. Selamat malam Ma. . selamat tidur.”


Putrimu yang selalu mencintaimu,
Dean Drian.

Senin, 08 Maret 2010

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan tumbuh menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak..


Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami.

(Dee)

***

Air matamu meluncur deras. Mengisyaratkan duka yang dalam. Menghujam hati. Meski ponsel hanya mampu menghantarkan sebentuk isak dan suara parau, sakitmu bisa kuraba dan begitu perih kuhayati. Sesak pun kembali menghimpit dadaku layaknya luka lebam yang tak kunjung membaik. Tidak ada yang mempu menyakitiku sedemikian rupa selain wajah malaikatmu yang tercemar kecewa.


Dia, orang yang kau cinta kini tak lagi sama. Pemahamanku mengungkapkan demikian. Semu yang selama ini kalian bagi bermuara dalam ketidakmengertian. Dalam rutuk dan caci – maki. Dia, yang kau agungkan dalam nama cinta kini menjauh. Sehingga kalian terjebak dalam lingkaran egosentrik. Menempatkan perasaan selayaknya kalkulasi dagang. Malam ini.. engkau pun terdera hingga terlunta.


Sebersit sakit terbit di hatiku. Kebingunganku kian terasa memuai biaskan arti engkau dan aku. Dalam ketidakberdayaan, aku mendamba jarak ini hilang hingga kita bisa keluar dari bayang masing – masing. Hingga tubuh kita saling mendekap dan jemari bisa mengusap air-matamu. Berharap amarah itu akan luruh beraturan. Hilang berganti senyuman dan dada kita kembali lega apabila dihela.


Tapi alam tak kunjung berbahasa. Petir-petir besar yang setia di ujung musim penghujan lenyap begitu saja. Langit begitu cerah memamerkan ribuan bintang. Malam sedang tak bisa romantis. Tiada garisan air hujan yang teruntai turun hingga tak lagi bisa ku berlama-lama menyembunyikan air-mata. Aku menangis dalam ketidakberdayaan.


Andai kau mengerti bahwa mengasihi tidak butuh publikasi dan pujian. Kerumitan cara tak lagi penting jika kau mengasihi dengan keutuhan jiwa. Sepasang manusia yang dilanda cinta hanya butuh mengenali isyarat hati. Membaginya dalam ketulusan. Dan meyakini untuk mampu saling mengisi sampai ragawi merenta. Dari situ kita akan belajar tentang arti seutuhnya sebuah suka cita mencintai.


Kini mungkin kau tahu cinta itu egois. Cinta itu menuntut. Dan itulah alasan mengapa aku tak ingin penjarakan engkau dalam cintaku. Setelah semua kekeruhan yang kau alami, mari kita arungi cinta dalam kearifan jiwa. Hingga tak akan lagi kau ucap sakit karena kau tak pantas didera, kau tak layak disiksa. Kasih . . tak pernah kutahu mengasihimu bisa sebegini sakit.


Dean.

.

_
 

Copyright 2010 Welcomers you.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.