Rabu, 26 Mei 2010

Seburuk apapun lukisan hidup yang tergambar, pajanglah di dinding-dinding hati karena di suatu hari ketika kita punya kesempatan untuk menengok ke belakang dan melihatnya, kita akan tersenyum.

(Cinta Sakura)



***

Pernahkah kau merasa ingin menghapus seseorang yang pernah hadir mengisi indah hari-harimu?. Itulah yang kurasakan saat ini. Tetapi di saat pikiran coba menguburnya jauh di dalam tong sampah bernama masa lalu, seketika kuingat ejawatah dari seorang temanku. Maka, baiklah.. kucoba untuk mengumpulkan kepingan tentangnya dalam ingatan yang sesungguhnya sudah sedikit tersisa. Kucoba satu per satu menguntai kenangan itu.


Lima menit pertama berlalu.. aku tak berhasil mengingat apa-apa..


Sepuluh menit kemudian.. gurat wajahnya mulai bisa ku ingat..


Hingga.. di menit ke-20.. kejadian itu melintas jelas di ingatanku..


Kejadian di hari itu mungkin hal yang paling sulit dilupakan. Emosiku sudah sampai di titik puncaknya. Emosi yang kupendam semenjak sebelum mesin motor dipanaskan, tepatnya setelah seseorang di ujung telepon sana dengan seenaknya membentak-bentak pacarku tanpa alasan. Seorang psychotic yang mengaku sebagai Butchi ini sepertinya sangat terobsesi untuk bertemu dengan pacarku yang juga adalah mantan pacarnya. Pacarku sudah sangat geram dan semakin penasaran untuk menemuinya. Pacarku rupanya masih belum benar-benar percaya kalau mantan pacarnya memang benar-benar psychotic. Huff..


Dengan itikad baik agar pacarku tidak dianiaya seorang psychotic, saat itu kucoba meredam emosi dan kusanggupi mengantar pacarku bertemu dengan sang mantan. Bodohnya, aku tak mengindahkan bahasa alam yang sudah melarang kami pergi. Saat itu, angin menderu kencang mempermainkan hujan hingga bulir-bulir hujan dengan kasar berjatuhan ke bumi. Ternyata apa yang diisyaratkan alam terbukti, emosiku semakin menjadi-jadi setelah alamat sang mantan tidak mudah untuk ditemukan. Petunjuk yang diberikan benar-benar ngaco dan membuat kami hampir nyasar. Sementara itu, dengan seenaknya dia membentak-bentak pacarku yang tidak lekas datang menemuinya tanpa dia tahu hujan tak kenal ampun mengguyur badan kami. Bete total.


Dengan susah payah, akhirnya kutemukan alamat itu. Pertemuan itu berlangsung singkat di sebuah rumah sederhana. Kubiarkan pacarku dan sang mantan mengobrol melepas rindu, haih... Aku sudah terlanjur bete dan memilih menghabiskan Pop Iceku daripada nimbrung mengobrol dengan mereka. Saat itu, ingin kuhajar muka innocentnya yang pura-pura baik di depanku. Masih terekam di kepalaku bagaimana kasarnya dia membentak-bentak pacarku di beberapa percakapan telepon.


Dua puluh lima menit berlalu dan aku tak tahan lagi. Ku kirim SMS pada pacarku untuk memintanya pulang. Pacarku menurut, kami pulang. Sesaat sebelum kami pulang, geblegnya pacarku sempat bermanis-manis ria pada sang mantan di depan mataku. Menyebalkan sekali apalagi ketika salamku sama sekali tak digubris oleh Butchi itu. Saat itu aku begitu dikuasai emosi dan seketika lupa bagaimana caranya mengendarai sepeda motor. Jalanan perumahan Cigadung sore itu boleh dibilang lengang sehingga kupacu sepeda motor dalam kecepatan yang lumayan. Hujan yang baru saja reda membuat jalanan basah. Di sebuah turunan yang licin, mataku menggelap dan.. CRACKKK.. kami terjatuh dari sepeda motor.


Hmmm..


Aku memanggilnya dengan sebutan Ran. Dia.. yang badannya kubuat memar-memar karena mencium aspal Cigadung kini telah menjadi mantan pacarku. Aku mengenalnya saat sejuk angin Februari berlalu. Terik mentari April akhirnya mengantarku menjumpainya. Seorang perempuan sederhana yang mempunyai mimpi-mimpi besar. Seorang anak yang sangat berbakti pada orang-tua dan begitu taat beragama. Di suatu dini hari yang dingin, aku memberanikan diri memintanya menjadi pacarku.


Jika pepatah mengatakan bahwa Tuhan akan menghadirkan seseorang yang istimewa dalam waktu dan cara yang indah maka hal itu tidak berlaku bagi hubungan kami. Dia datang di waktu yang paling tidak tepat. Waktu di saat keluargaku sedang ditimpa banyak masalah berat; dari mulai masalah perceraian orang tuaku hingga masalah ekonomi. Dengan kehadirannya, ku harapkan bebanku berkurang karena ada seseorang yang mampu diajak berbagi ternyata harapan itu salah besar. Ternyata hadirnya malah membawa tambahan beban masalah untukku.


Begitu banyak pengalaman pertama yang kubagi dengannya walaupun hubungan kami tidak pernah sampai di anniversary pertama, sampai di satu bulan maksudnya. Dan selama 22 hari, aku hidup dalam kebohongannya. Begitu banyak yang dia sembunyikan dariku, entah tentang kegiatan atau interaksinya dengan beberapa mantan pacar. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang dia ingin memiliki ruang privasi itu. Tetapi lambat-laun, ketidakterbukaan dan ketidakpercayaan malah menghancurkan pondasi hubungan kami.


Banyak yang tak kumengerti dari sikapnya. Perasaannya begitu sulit ditebak dan sampai saat ini, aku tak pernah tahu kesungguhan perasaannya terhadapku. Cara dia mencintaiku begitu rumit hingga aku terjerembab dalam kebingungan-kebingungan yang tak perlu. Ribuan tanda-tanya bersarang di kepalaku. Ada apa? Kenapa?, hal itu tak pernah bisa kami jawab.


Tetapi di balik semua itu, kurasakan hatiku mulai menghangat ketika mengingat jilbab yang sering ia kenakan. Bagaimanapun ia pernah hadir dalam hidupku dan mengajariku cara mencintai Tuhan. Mungkin benar, aku belum mengenalnya secara utuh sehingga kami hidp dalam bayang-bayang satu sama lain. Dia menyediakan semua keperluanku setiap hari tapi entah kenapa kurasa tetap ada ruang kosong dalam hati. Kuinvestasikan sebuah ruang kosong itu pada waktu tetapi sebelum waktu sempat menjawab, kenyataan menentukan lain.


Kami sampai di siang itu dimana kata-katanya begitu menyakiti hatiku. Walaupun SMS hanya mampu menyuguhkan guratan kata-kata tapi kata demi kata itu begitu tajam membuat luka pada perasaan. Di baris akhir SMS itu, tercatatlah permintaannya untuk putus. Aku ikhlas mengabulkan permintaannya untuk mengakhiri hubungan ini dan menjalani hidup tanpaku. Benar-benar tanpaku.. karena akhirnya dia membatasi semua media komunikasi yang kami punya termasuk facebook.


Untuk Ran yang pernah singgah di hidupku, walaupun lukisan hidup kita tak tergores indah tetapi akan tetap kupajang di dinding-dinding hati. Sehingga nanti, aku mampu mengingatmu dan berujar syukur karena kau mampu mendekatkan-Ku dengan Tuhan. Aku tahu sampai kini kau masih menyimpan mimpi-mimpi besar itu, maka gapailah meski aku hanya mampu mendampingimu dengan do’a.. mari kita mulai hidup kita masing-masing dengan Basmallah.. Ran for your life!.


Dean.

Senin, 03 Mei 2010

Kukisahkan seorang Puteri diantara tumpukan nestapa. Seorang yang berpenampilan begitu feminim. Jago memasak. Tidak merokok. Tidak minum alkohol. Sangat dewasa walau terkadang manja saat sisi anak-anaknya mendominasi. Seorang kaka bagiku sekaligus pemegang pucuk pimpinan tertinggi di organisasi kemahasiswaan di kampus kami. Dan selama bertahun-tahun, aku mengaguminya. Tetapi aku memang seorang pengecut yang sampai hari ini tidak pernah mampu mengurai rasa pada hati.

Selama hampir satu tahun, aku hanya berani menyapanya dalam sms dan telepon, berjam-jam diskusi panjang, menemaninya makan atau sekedar menyelipkan suplemen di saku jaketnya saat padat aktivitas merantai waktu. Ketika dia ulang-tahun, ku menghadiahinya sebuah buku filsafat. Dia katakan buku itu sangat menginspirasi tanpa dia tahu dirinya menjadi inspirasi dari ratusan puisi yang kutulis.


Kami sampai di malam itu. Malam yang menyisakan tumpukan lelah. Dimana untuk sampai di malam itu, dia harus bergadang berhari-hari; mempersiapkan seluruh kebutuhan acara; berhadapan dengan birokrasi kompleks; mempelopori belasan kali breafing dan konsolidasi; mengetuk banyak pintu untuk sokongan finansial; belum lagi harus mendapat tekanan dari banyak pihak. Saat seperti itu sangat menganiaya pikiran hingga stress luar-biasa membuatnya nyaris lompat dari lantai empat salah satu gedung kampus. Suicide. . Bunuh diri? ya. . hal itu hampir saja dia lakukan dan aku kecewa karenanya.


Menjadi penanggungjawab sebuah perhelatan akbar yang mempertaruhkan citra kampus memang tugas yang sangat berat. Tetapi entah kenapa saat itu dia begitu bodoh dan berniat bunuh diri karena merasa tidak mampu menjalankan amanah. Dia mengaku sudah sangat lelah menghadapi semua tekanan dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya tetapi aku tidak mau berpendapat sama. Seorang pengabdi tidak boleh lelah. Aku tidak setuju kalau seorang Puteri pantasnya berada di rumah dan belajar menyulam. Seorang Puteri pun harus mampu berkecimpung di ranah politik kampus.


Hampir satu jam aku memarahinya seperti seorang ayah menasehati seorang anak kecil yang bandel. Dan sikapku itu tidak lantas membuatnya mengurungkan niat bunuh diri. Pikiranku macet total, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi tiba-tiba, entah kenapa dia luluh dan memilih tidak jadi melompat lalu menangis sejadi-jadinya di pundakku. Saat itu, kutahu betapa aku takut kehilangan dia. Mungkin itu juga yang membuatku trauma dengan proses percobaan bunuh diri, apapun bentuknya.


Saat-saat setelah masa percobaan bunuh diri itu adalah yang paling berat. Tekanan semakin kencang dengan terkepitnya waktu yang kami punya. Kucoba terus mendampinginya walaupun aku tidak punya keterkaitan langsung dengan perhelatan yang sedang ia persiapkan. Aku tidak pedulikan orang lain yang mulai tidak nyaman dengan keterlibatanku. Aku ingin tetap ada semata-mata untuk memastikan dia baik-baik saja; makan tiga kali sehari, meminum suplemen yang aku berikan, menjalankan sholat lima waktu dan niatan bunuh diri tidak lagi terbersit di pikirannya.


Kami berhasil. Sebuah perhelatan akbar telah selesai digelar. Ratusan pasang mata menjadi saksi betapa gemetar dan suka-citanya ia ketika membacakan pidatonya. Cuaca begitu mendukung dan hati kami begitu cerah. Kami lalui sore itu dengan suka-cita hingga tak menyadari hitam mulai melunturi langit. Entah mengapa mataku ingin terus membuntuti gerak-geriknya. Namun hanya berjarak sepersekian detik saat kupalingkan tatap darinya, ia terjatuh. Berat tubuhnya menghantam lantai sekretariat. Seperti dikomando, serentak orang-orang berlarian menghampiri ia yang sudah tak sadar diri, tak terkecuali aku.


Di pojokan rumah sakit, aku terduduk lemas. Aku tidak keberatan menghabiskan sisa uang beasiswa yang kuterima bulan itu untuk membayar tagihan obat. Yang aku inginkan hanyalah kesembuhannya karena aku menderita melihatnya terbaring lemah dengan berbalut selang-selang infus. Luka di usus dua belas jarinya semakin parah dan Dokter sudah mengharuskannya istirahat total di rumah. Tanpa kusadari, lelehan hangat itu sudah membasahi pipi. Itulah titik dimana aku mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi terlibat dalam organisasi kampus.


Hingga hari ini, aku disini, sendiri. Tertatih-tatih menjalankan roda organisasi ini. Menggantikan perannya bukanlah keputusan yang mudah dijalankan. Aku masih dibebani tanggungjawab mengurusi tetek-bengek organisasi sedangkan skripsiku sudah menanti untuk dikerjakan. Menyakitkan mendapatinya tidak ada di sampingku saat aku butuh suntikan motivasi. Tetapi yang lebih menyakitkan adalah mengetahui kesempatan itu tak pernah ada untukku. Kesempatan untuk mengungkap kebenaran perasaanku.


Tetapi biarlah, meskipun aku mampu mengatakan kehendak hati mungkin tidak akan ada satu pun yang berubah. Dia akan tetap menjadi seorang Puteri yang ditakdirkan dipinang oleh ksatria berkuda putih. Lalu mereka akan tinggal di istana, hidup berkecukupan, memiliki anak-anak yang lucu and happily ever after. Dia. . akan tetap menjadi puteri langit yang tak mungkin ku jangkau; seorang perempuan yang mencintai laki-laki, bukan mencintai perempuan lesbian sepertiku.

Dean.

.

_
 

Copyright 2010 Welcomers you.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.