Senin, 03 Mei 2010

Kukisahkan seorang Puteri diantara tumpukan nestapa. Seorang yang berpenampilan begitu feminim. Jago memasak. Tidak merokok. Tidak minum alkohol. Sangat dewasa walau terkadang manja saat sisi anak-anaknya mendominasi. Seorang kaka bagiku sekaligus pemegang pucuk pimpinan tertinggi di organisasi kemahasiswaan di kampus kami. Dan selama bertahun-tahun, aku mengaguminya. Tetapi aku memang seorang pengecut yang sampai hari ini tidak pernah mampu mengurai rasa pada hati.

Selama hampir satu tahun, aku hanya berani menyapanya dalam sms dan telepon, berjam-jam diskusi panjang, menemaninya makan atau sekedar menyelipkan suplemen di saku jaketnya saat padat aktivitas merantai waktu. Ketika dia ulang-tahun, ku menghadiahinya sebuah buku filsafat. Dia katakan buku itu sangat menginspirasi tanpa dia tahu dirinya menjadi inspirasi dari ratusan puisi yang kutulis.


Kami sampai di malam itu. Malam yang menyisakan tumpukan lelah. Dimana untuk sampai di malam itu, dia harus bergadang berhari-hari; mempersiapkan seluruh kebutuhan acara; berhadapan dengan birokrasi kompleks; mempelopori belasan kali breafing dan konsolidasi; mengetuk banyak pintu untuk sokongan finansial; belum lagi harus mendapat tekanan dari banyak pihak. Saat seperti itu sangat menganiaya pikiran hingga stress luar-biasa membuatnya nyaris lompat dari lantai empat salah satu gedung kampus. Suicide. . Bunuh diri? ya. . hal itu hampir saja dia lakukan dan aku kecewa karenanya.


Menjadi penanggungjawab sebuah perhelatan akbar yang mempertaruhkan citra kampus memang tugas yang sangat berat. Tetapi entah kenapa saat itu dia begitu bodoh dan berniat bunuh diri karena merasa tidak mampu menjalankan amanah. Dia mengaku sudah sangat lelah menghadapi semua tekanan dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya tetapi aku tidak mau berpendapat sama. Seorang pengabdi tidak boleh lelah. Aku tidak setuju kalau seorang Puteri pantasnya berada di rumah dan belajar menyulam. Seorang Puteri pun harus mampu berkecimpung di ranah politik kampus.


Hampir satu jam aku memarahinya seperti seorang ayah menasehati seorang anak kecil yang bandel. Dan sikapku itu tidak lantas membuatnya mengurungkan niat bunuh diri. Pikiranku macet total, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi tiba-tiba, entah kenapa dia luluh dan memilih tidak jadi melompat lalu menangis sejadi-jadinya di pundakku. Saat itu, kutahu betapa aku takut kehilangan dia. Mungkin itu juga yang membuatku trauma dengan proses percobaan bunuh diri, apapun bentuknya.


Saat-saat setelah masa percobaan bunuh diri itu adalah yang paling berat. Tekanan semakin kencang dengan terkepitnya waktu yang kami punya. Kucoba terus mendampinginya walaupun aku tidak punya keterkaitan langsung dengan perhelatan yang sedang ia persiapkan. Aku tidak pedulikan orang lain yang mulai tidak nyaman dengan keterlibatanku. Aku ingin tetap ada semata-mata untuk memastikan dia baik-baik saja; makan tiga kali sehari, meminum suplemen yang aku berikan, menjalankan sholat lima waktu dan niatan bunuh diri tidak lagi terbersit di pikirannya.


Kami berhasil. Sebuah perhelatan akbar telah selesai digelar. Ratusan pasang mata menjadi saksi betapa gemetar dan suka-citanya ia ketika membacakan pidatonya. Cuaca begitu mendukung dan hati kami begitu cerah. Kami lalui sore itu dengan suka-cita hingga tak menyadari hitam mulai melunturi langit. Entah mengapa mataku ingin terus membuntuti gerak-geriknya. Namun hanya berjarak sepersekian detik saat kupalingkan tatap darinya, ia terjatuh. Berat tubuhnya menghantam lantai sekretariat. Seperti dikomando, serentak orang-orang berlarian menghampiri ia yang sudah tak sadar diri, tak terkecuali aku.


Di pojokan rumah sakit, aku terduduk lemas. Aku tidak keberatan menghabiskan sisa uang beasiswa yang kuterima bulan itu untuk membayar tagihan obat. Yang aku inginkan hanyalah kesembuhannya karena aku menderita melihatnya terbaring lemah dengan berbalut selang-selang infus. Luka di usus dua belas jarinya semakin parah dan Dokter sudah mengharuskannya istirahat total di rumah. Tanpa kusadari, lelehan hangat itu sudah membasahi pipi. Itulah titik dimana aku mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi terlibat dalam organisasi kampus.


Hingga hari ini, aku disini, sendiri. Tertatih-tatih menjalankan roda organisasi ini. Menggantikan perannya bukanlah keputusan yang mudah dijalankan. Aku masih dibebani tanggungjawab mengurusi tetek-bengek organisasi sedangkan skripsiku sudah menanti untuk dikerjakan. Menyakitkan mendapatinya tidak ada di sampingku saat aku butuh suntikan motivasi. Tetapi yang lebih menyakitkan adalah mengetahui kesempatan itu tak pernah ada untukku. Kesempatan untuk mengungkap kebenaran perasaanku.


Tetapi biarlah, meskipun aku mampu mengatakan kehendak hati mungkin tidak akan ada satu pun yang berubah. Dia akan tetap menjadi seorang Puteri yang ditakdirkan dipinang oleh ksatria berkuda putih. Lalu mereka akan tinggal di istana, hidup berkecukupan, memiliki anak-anak yang lucu and happily ever after. Dia. . akan tetap menjadi puteri langit yang tak mungkin ku jangkau; seorang perempuan yang mencintai laki-laki, bukan mencintai perempuan lesbian sepertiku.

Dean.

5 komentar:

O-Lenka mengatakan...

jaga kesehatan ya dee kisah yang sama jangan terulang ke kamu.. semangat jangan lupa bagi waktu buat skripsinya... ^_^ miss u so...

Bii mengatakan...

semangat untukmu dan untukku yang memilih untuk menjalani kehidupan cinta yang serupa :)

Dean Drian mengatakan...

Sista, iya ni sis, lama berkutat dengan skripsi jd lupa nge-blog. . ^^
Setiap kejadian adalah cermin untuk kita. . :)

Bii, tidak mudah menjalani kisah cinta serupa ini tapi hikmah yang bisa kita dapat sangatlah besar. . semangat !! ^^

Anonim mengatakan...

Weih....

:)
baru kali ini baca blogmu:)

moga aja bisa selsai jepat skripsimu yah:P

Dean Drian mengatakan...

Haia.. kau kemana aja Zhu? hehe..

Amien, makasih yah do'anya! Sukses buat blog barunya ya Zhu.. seneng bgt bs terinspirasi oleh tulisan-tulisanmu.. :)

Posting Komentar

.

_
 

Copyright 2010 Welcomers you.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.