Rabu, 26 Mei 2010

Seburuk apapun lukisan hidup yang tergambar, pajanglah di dinding-dinding hati karena di suatu hari ketika kita punya kesempatan untuk menengok ke belakang dan melihatnya, kita akan tersenyum.

(Cinta Sakura)



***

Pernahkah kau merasa ingin menghapus seseorang yang pernah hadir mengisi indah hari-harimu?. Itulah yang kurasakan saat ini. Tetapi di saat pikiran coba menguburnya jauh di dalam tong sampah bernama masa lalu, seketika kuingat ejawatah dari seorang temanku. Maka, baiklah.. kucoba untuk mengumpulkan kepingan tentangnya dalam ingatan yang sesungguhnya sudah sedikit tersisa. Kucoba satu per satu menguntai kenangan itu.


Lima menit pertama berlalu.. aku tak berhasil mengingat apa-apa..


Sepuluh menit kemudian.. gurat wajahnya mulai bisa ku ingat..


Hingga.. di menit ke-20.. kejadian itu melintas jelas di ingatanku..


Kejadian di hari itu mungkin hal yang paling sulit dilupakan. Emosiku sudah sampai di titik puncaknya. Emosi yang kupendam semenjak sebelum mesin motor dipanaskan, tepatnya setelah seseorang di ujung telepon sana dengan seenaknya membentak-bentak pacarku tanpa alasan. Seorang psychotic yang mengaku sebagai Butchi ini sepertinya sangat terobsesi untuk bertemu dengan pacarku yang juga adalah mantan pacarnya. Pacarku sudah sangat geram dan semakin penasaran untuk menemuinya. Pacarku rupanya masih belum benar-benar percaya kalau mantan pacarnya memang benar-benar psychotic. Huff..


Dengan itikad baik agar pacarku tidak dianiaya seorang psychotic, saat itu kucoba meredam emosi dan kusanggupi mengantar pacarku bertemu dengan sang mantan. Bodohnya, aku tak mengindahkan bahasa alam yang sudah melarang kami pergi. Saat itu, angin menderu kencang mempermainkan hujan hingga bulir-bulir hujan dengan kasar berjatuhan ke bumi. Ternyata apa yang diisyaratkan alam terbukti, emosiku semakin menjadi-jadi setelah alamat sang mantan tidak mudah untuk ditemukan. Petunjuk yang diberikan benar-benar ngaco dan membuat kami hampir nyasar. Sementara itu, dengan seenaknya dia membentak-bentak pacarku yang tidak lekas datang menemuinya tanpa dia tahu hujan tak kenal ampun mengguyur badan kami. Bete total.


Dengan susah payah, akhirnya kutemukan alamat itu. Pertemuan itu berlangsung singkat di sebuah rumah sederhana. Kubiarkan pacarku dan sang mantan mengobrol melepas rindu, haih... Aku sudah terlanjur bete dan memilih menghabiskan Pop Iceku daripada nimbrung mengobrol dengan mereka. Saat itu, ingin kuhajar muka innocentnya yang pura-pura baik di depanku. Masih terekam di kepalaku bagaimana kasarnya dia membentak-bentak pacarku di beberapa percakapan telepon.


Dua puluh lima menit berlalu dan aku tak tahan lagi. Ku kirim SMS pada pacarku untuk memintanya pulang. Pacarku menurut, kami pulang. Sesaat sebelum kami pulang, geblegnya pacarku sempat bermanis-manis ria pada sang mantan di depan mataku. Menyebalkan sekali apalagi ketika salamku sama sekali tak digubris oleh Butchi itu. Saat itu aku begitu dikuasai emosi dan seketika lupa bagaimana caranya mengendarai sepeda motor. Jalanan perumahan Cigadung sore itu boleh dibilang lengang sehingga kupacu sepeda motor dalam kecepatan yang lumayan. Hujan yang baru saja reda membuat jalanan basah. Di sebuah turunan yang licin, mataku menggelap dan.. CRACKKK.. kami terjatuh dari sepeda motor.


Hmmm..


Aku memanggilnya dengan sebutan Ran. Dia.. yang badannya kubuat memar-memar karena mencium aspal Cigadung kini telah menjadi mantan pacarku. Aku mengenalnya saat sejuk angin Februari berlalu. Terik mentari April akhirnya mengantarku menjumpainya. Seorang perempuan sederhana yang mempunyai mimpi-mimpi besar. Seorang anak yang sangat berbakti pada orang-tua dan begitu taat beragama. Di suatu dini hari yang dingin, aku memberanikan diri memintanya menjadi pacarku.


Jika pepatah mengatakan bahwa Tuhan akan menghadirkan seseorang yang istimewa dalam waktu dan cara yang indah maka hal itu tidak berlaku bagi hubungan kami. Dia datang di waktu yang paling tidak tepat. Waktu di saat keluargaku sedang ditimpa banyak masalah berat; dari mulai masalah perceraian orang tuaku hingga masalah ekonomi. Dengan kehadirannya, ku harapkan bebanku berkurang karena ada seseorang yang mampu diajak berbagi ternyata harapan itu salah besar. Ternyata hadirnya malah membawa tambahan beban masalah untukku.


Begitu banyak pengalaman pertama yang kubagi dengannya walaupun hubungan kami tidak pernah sampai di anniversary pertama, sampai di satu bulan maksudnya. Dan selama 22 hari, aku hidup dalam kebohongannya. Begitu banyak yang dia sembunyikan dariku, entah tentang kegiatan atau interaksinya dengan beberapa mantan pacar. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang dia ingin memiliki ruang privasi itu. Tetapi lambat-laun, ketidakterbukaan dan ketidakpercayaan malah menghancurkan pondasi hubungan kami.


Banyak yang tak kumengerti dari sikapnya. Perasaannya begitu sulit ditebak dan sampai saat ini, aku tak pernah tahu kesungguhan perasaannya terhadapku. Cara dia mencintaiku begitu rumit hingga aku terjerembab dalam kebingungan-kebingungan yang tak perlu. Ribuan tanda-tanya bersarang di kepalaku. Ada apa? Kenapa?, hal itu tak pernah bisa kami jawab.


Tetapi di balik semua itu, kurasakan hatiku mulai menghangat ketika mengingat jilbab yang sering ia kenakan. Bagaimanapun ia pernah hadir dalam hidupku dan mengajariku cara mencintai Tuhan. Mungkin benar, aku belum mengenalnya secara utuh sehingga kami hidp dalam bayang-bayang satu sama lain. Dia menyediakan semua keperluanku setiap hari tapi entah kenapa kurasa tetap ada ruang kosong dalam hati. Kuinvestasikan sebuah ruang kosong itu pada waktu tetapi sebelum waktu sempat menjawab, kenyataan menentukan lain.


Kami sampai di siang itu dimana kata-katanya begitu menyakiti hatiku. Walaupun SMS hanya mampu menyuguhkan guratan kata-kata tapi kata demi kata itu begitu tajam membuat luka pada perasaan. Di baris akhir SMS itu, tercatatlah permintaannya untuk putus. Aku ikhlas mengabulkan permintaannya untuk mengakhiri hubungan ini dan menjalani hidup tanpaku. Benar-benar tanpaku.. karena akhirnya dia membatasi semua media komunikasi yang kami punya termasuk facebook.


Untuk Ran yang pernah singgah di hidupku, walaupun lukisan hidup kita tak tergores indah tetapi akan tetap kupajang di dinding-dinding hati. Sehingga nanti, aku mampu mengingatmu dan berujar syukur karena kau mampu mendekatkan-Ku dengan Tuhan. Aku tahu sampai kini kau masih menyimpan mimpi-mimpi besar itu, maka gapailah meski aku hanya mampu mendampingimu dengan do’a.. mari kita mulai hidup kita masing-masing dengan Basmallah.. Ran for your life!.


Dean.

Senin, 03 Mei 2010

Kukisahkan seorang Puteri diantara tumpukan nestapa. Seorang yang berpenampilan begitu feminim. Jago memasak. Tidak merokok. Tidak minum alkohol. Sangat dewasa walau terkadang manja saat sisi anak-anaknya mendominasi. Seorang kaka bagiku sekaligus pemegang pucuk pimpinan tertinggi di organisasi kemahasiswaan di kampus kami. Dan selama bertahun-tahun, aku mengaguminya. Tetapi aku memang seorang pengecut yang sampai hari ini tidak pernah mampu mengurai rasa pada hati.

Selama hampir satu tahun, aku hanya berani menyapanya dalam sms dan telepon, berjam-jam diskusi panjang, menemaninya makan atau sekedar menyelipkan suplemen di saku jaketnya saat padat aktivitas merantai waktu. Ketika dia ulang-tahun, ku menghadiahinya sebuah buku filsafat. Dia katakan buku itu sangat menginspirasi tanpa dia tahu dirinya menjadi inspirasi dari ratusan puisi yang kutulis.


Kami sampai di malam itu. Malam yang menyisakan tumpukan lelah. Dimana untuk sampai di malam itu, dia harus bergadang berhari-hari; mempersiapkan seluruh kebutuhan acara; berhadapan dengan birokrasi kompleks; mempelopori belasan kali breafing dan konsolidasi; mengetuk banyak pintu untuk sokongan finansial; belum lagi harus mendapat tekanan dari banyak pihak. Saat seperti itu sangat menganiaya pikiran hingga stress luar-biasa membuatnya nyaris lompat dari lantai empat salah satu gedung kampus. Suicide. . Bunuh diri? ya. . hal itu hampir saja dia lakukan dan aku kecewa karenanya.


Menjadi penanggungjawab sebuah perhelatan akbar yang mempertaruhkan citra kampus memang tugas yang sangat berat. Tetapi entah kenapa saat itu dia begitu bodoh dan berniat bunuh diri karena merasa tidak mampu menjalankan amanah. Dia mengaku sudah sangat lelah menghadapi semua tekanan dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya tetapi aku tidak mau berpendapat sama. Seorang pengabdi tidak boleh lelah. Aku tidak setuju kalau seorang Puteri pantasnya berada di rumah dan belajar menyulam. Seorang Puteri pun harus mampu berkecimpung di ranah politik kampus.


Hampir satu jam aku memarahinya seperti seorang ayah menasehati seorang anak kecil yang bandel. Dan sikapku itu tidak lantas membuatnya mengurungkan niat bunuh diri. Pikiranku macet total, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi tiba-tiba, entah kenapa dia luluh dan memilih tidak jadi melompat lalu menangis sejadi-jadinya di pundakku. Saat itu, kutahu betapa aku takut kehilangan dia. Mungkin itu juga yang membuatku trauma dengan proses percobaan bunuh diri, apapun bentuknya.


Saat-saat setelah masa percobaan bunuh diri itu adalah yang paling berat. Tekanan semakin kencang dengan terkepitnya waktu yang kami punya. Kucoba terus mendampinginya walaupun aku tidak punya keterkaitan langsung dengan perhelatan yang sedang ia persiapkan. Aku tidak pedulikan orang lain yang mulai tidak nyaman dengan keterlibatanku. Aku ingin tetap ada semata-mata untuk memastikan dia baik-baik saja; makan tiga kali sehari, meminum suplemen yang aku berikan, menjalankan sholat lima waktu dan niatan bunuh diri tidak lagi terbersit di pikirannya.


Kami berhasil. Sebuah perhelatan akbar telah selesai digelar. Ratusan pasang mata menjadi saksi betapa gemetar dan suka-citanya ia ketika membacakan pidatonya. Cuaca begitu mendukung dan hati kami begitu cerah. Kami lalui sore itu dengan suka-cita hingga tak menyadari hitam mulai melunturi langit. Entah mengapa mataku ingin terus membuntuti gerak-geriknya. Namun hanya berjarak sepersekian detik saat kupalingkan tatap darinya, ia terjatuh. Berat tubuhnya menghantam lantai sekretariat. Seperti dikomando, serentak orang-orang berlarian menghampiri ia yang sudah tak sadar diri, tak terkecuali aku.


Di pojokan rumah sakit, aku terduduk lemas. Aku tidak keberatan menghabiskan sisa uang beasiswa yang kuterima bulan itu untuk membayar tagihan obat. Yang aku inginkan hanyalah kesembuhannya karena aku menderita melihatnya terbaring lemah dengan berbalut selang-selang infus. Luka di usus dua belas jarinya semakin parah dan Dokter sudah mengharuskannya istirahat total di rumah. Tanpa kusadari, lelehan hangat itu sudah membasahi pipi. Itulah titik dimana aku mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi terlibat dalam organisasi kampus.


Hingga hari ini, aku disini, sendiri. Tertatih-tatih menjalankan roda organisasi ini. Menggantikan perannya bukanlah keputusan yang mudah dijalankan. Aku masih dibebani tanggungjawab mengurusi tetek-bengek organisasi sedangkan skripsiku sudah menanti untuk dikerjakan. Menyakitkan mendapatinya tidak ada di sampingku saat aku butuh suntikan motivasi. Tetapi yang lebih menyakitkan adalah mengetahui kesempatan itu tak pernah ada untukku. Kesempatan untuk mengungkap kebenaran perasaanku.


Tetapi biarlah, meskipun aku mampu mengatakan kehendak hati mungkin tidak akan ada satu pun yang berubah. Dia akan tetap menjadi seorang Puteri yang ditakdirkan dipinang oleh ksatria berkuda putih. Lalu mereka akan tinggal di istana, hidup berkecukupan, memiliki anak-anak yang lucu and happily ever after. Dia. . akan tetap menjadi puteri langit yang tak mungkin ku jangkau; seorang perempuan yang mencintai laki-laki, bukan mencintai perempuan lesbian sepertiku.

Dean.

Selasa, 16 Maret 2010

Semua permasalahan yang merantai hidup seakan membuat kita ingin kembali ke dalam rahim ibu dimana kita bisa meringkuk damai.


Tapi nyatanya inilah hidup. Tempat kita terjatuh dan belajar bangkit. Tempat kita bermain bola dan merasakan hujan. Tempat kita mengenal rasanya jatuh hati. Maka. . syukurilah!.

(Mama)

***

Ma, aku mulai merindukan semua tentangmu saat ini. Aku rindukan kecerewetanmu saat nasi di piringku tersisa atau di kala kebiasaanku bergadang menjadi-jadi karena mata tak kunjung berdamai dengan insomnia. Kau pasti akan mengomel apabila tahu belakangan ini ku masih bermain bola dengan bertelanjang kaki, hobi menuruni tebing yang tingginya puluhan meter dan berkelana di hutan-hutan kota. Malam ini, nasihat dan petuahmu seperti tersaji di dinding-dinding kamarku.


Masih ku ingat jelas malam itu. Dalam suhu tubuh yang teramat tinggi, ku meringkuk dalam dekapanmu. Aku tak ingin lemah sebagaimana semua perempuan di keluarga kita seakan tak boleh memiliki air-mata. Tapi penyakit begitu menyiksa. Sakit di sekujur tubuh memaksa tetesan-tetesan hangat meleleh di pipiku. Sontak saat itu ku bertanya, ’Mah, teteh boleh nangis yah?,’ dan dengan lembut kau menjawab, ’Iya, ga apa-apa.’ Serta-merta ku rasakan lenganmu semakin erat memelukku. Meski tak ku lihat, ku tahu matamu juga basah. Hingga saat itu ku bersumpah dalam hati tak akan pernah lagi membuatmu khawatir sampai harus mengurai tangis.


Menyakitkan rasanya bila mengetahui apa yang paling ku takuti malah tak bisa dihindari. Mengetahui bahwa suatu saat wajah malaikatmu akan tercemar kecewa. Aku sangat yakin rahasiaku akan membuncahkan amarah. Tetapi sebelum semua kesedihan itu ada, aku ingin tetap menemanimu disini. Membicarakan padi-padi di sawah kita yang kau panen sendiri. Mencicipi lezat masakanmu yang selalu membuatku merasa lapar. Menghayati keasyikanmu bercerita ketika membayangkan aku dilamar, duduk di pelaminan dan memberikanmu belasan cucu. Hah. . entah sampai kapan kedamaian ini bertahan.


Ma, aku ingin jujur padamu. Mungkin berlembar-lembar do’a tak kan pernah bisa memanggilku kembali. Inginku terus takdzim kepadamu tapi garis hidup kini memapahku menjauh dari ajaranmu. Akankah kita mampu menerima bahwa rahasia itu telah menciptakan jarak antara kita?. Jarak yang tak terlihat tapi semakin pekat ku rasakan. Takdir ini telah memilihku dan dengan sukarela ku masuki. Takdir yang menjelma rahasia yang ingin selamanya ku sembunyikan darimu.


Dan kini aku telah jatuh cinta padanya. Perempuanku. Namanya Elsya dan perangainya selembut Bidadari. Dia. . perempuan yang ku pilih untuk menemaniku menjajaki waktu. Engkau tak perlu khawatir lagi akan diriku karena ku tahu dia akan menjagaku dengan hidupnya, begitupun sebaliknya.


Masakannya konon tidak kalah lezat dengan masakanmu. Jadi kau tak perlu mengomel karena berat badanku yang terus-terusan menyusut. Mungkin suatu saat, aku bisa melihat kalian memasak bersama. Dan ketika malam tiba, dia akan membantuku terlelap melupakan insomnia dan memelukku hangat dalam tidurnya. Dia. . sebuah muara dimana akan ku labuhkan semua hidupku. Ma, betapa sangat ingin ku memperkenalkan dia padamu.


Berdosakah bila aku mencintai perempuanku, Ma?. Tentu agama kita mengatakan itu dosa. Tetapi engkau bukanlah agama. Kau ibundaku. Seseorang yang pasti akan mengerti kegelisahan hati yang selama ini ku rasa. Jika rahasia ini ku urai, engkau mungkin akan marah sejadi-jadinya tapi ku yakin, kau akan bisa memaafkan. Meski moral dan stigma akan memandang kita dalam rasa jijik.


Mama, ijinkan aku menangis sekali lagi. Kali ini bukan karena penyakit yang mengerogoti tubuh tapi karena sakit yang yang terbit di dadaku. Sulit bagi lidahku menyampaikan kebenaran yang ada, sebuah kejujuran bahwa aku. . lesbian. Entah kapan aku bisa terbuka padamu. Entahlah. Saat ini, aku hanya ingin mengecup keningmu dan berucap. . “Terima kasih telah meniupkan cinta yang indah di 22 tahun hidupku ini. Selamat malam Ma. . selamat tidur.”


Putrimu yang selalu mencintaimu,
Dean Drian.

Senin, 08 Maret 2010

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan tumbuh menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak..


Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami.

(Dee)

***

Air matamu meluncur deras. Mengisyaratkan duka yang dalam. Menghujam hati. Meski ponsel hanya mampu menghantarkan sebentuk isak dan suara parau, sakitmu bisa kuraba dan begitu perih kuhayati. Sesak pun kembali menghimpit dadaku layaknya luka lebam yang tak kunjung membaik. Tidak ada yang mempu menyakitiku sedemikian rupa selain wajah malaikatmu yang tercemar kecewa.


Dia, orang yang kau cinta kini tak lagi sama. Pemahamanku mengungkapkan demikian. Semu yang selama ini kalian bagi bermuara dalam ketidakmengertian. Dalam rutuk dan caci – maki. Dia, yang kau agungkan dalam nama cinta kini menjauh. Sehingga kalian terjebak dalam lingkaran egosentrik. Menempatkan perasaan selayaknya kalkulasi dagang. Malam ini.. engkau pun terdera hingga terlunta.


Sebersit sakit terbit di hatiku. Kebingunganku kian terasa memuai biaskan arti engkau dan aku. Dalam ketidakberdayaan, aku mendamba jarak ini hilang hingga kita bisa keluar dari bayang masing – masing. Hingga tubuh kita saling mendekap dan jemari bisa mengusap air-matamu. Berharap amarah itu akan luruh beraturan. Hilang berganti senyuman dan dada kita kembali lega apabila dihela.


Tapi alam tak kunjung berbahasa. Petir-petir besar yang setia di ujung musim penghujan lenyap begitu saja. Langit begitu cerah memamerkan ribuan bintang. Malam sedang tak bisa romantis. Tiada garisan air hujan yang teruntai turun hingga tak lagi bisa ku berlama-lama menyembunyikan air-mata. Aku menangis dalam ketidakberdayaan.


Andai kau mengerti bahwa mengasihi tidak butuh publikasi dan pujian. Kerumitan cara tak lagi penting jika kau mengasihi dengan keutuhan jiwa. Sepasang manusia yang dilanda cinta hanya butuh mengenali isyarat hati. Membaginya dalam ketulusan. Dan meyakini untuk mampu saling mengisi sampai ragawi merenta. Dari situ kita akan belajar tentang arti seutuhnya sebuah suka cita mencintai.


Kini mungkin kau tahu cinta itu egois. Cinta itu menuntut. Dan itulah alasan mengapa aku tak ingin penjarakan engkau dalam cintaku. Setelah semua kekeruhan yang kau alami, mari kita arungi cinta dalam kearifan jiwa. Hingga tak akan lagi kau ucap sakit karena kau tak pantas didera, kau tak layak disiksa. Kasih . . tak pernah kutahu mengasihimu bisa sebegini sakit.


Dean.

Senin, 15 Februari 2010

Ucapan selamat valentine menjadi tidak berarti ketika kita mampu mengerti bahasa hati. Bidadari pagi.. kini aku tahu, engkau.. bisa lebih memabukkan daripada alkohol.

***

Beberapa botol minuman telah tersaji di atas lantai. Dengan ragu, seorang teman menyodorkan sebotol vodka ke arahku. Pikiranku sudah refleks menolak namun sepertinya rasa lelah menyumbat saraf motorik sehingga salah memberikan perintah kepada tubuh. Kuraih botol itu dan kuamati baik-baik.


Magis dari alkohol telah menguasai bahkan semenjak tutupnya belum terbuka. Dia tidak akan sabar menunggu. Dia akan terus menggoda untuk dicicipi, menelusup melalui kerongkongan hingga akhirnya bersinergis dengan darah. Kini yang ada hanyalah teguk demi teguk yang berlalu. Segenap komposisi rasa aneh merambat di lidahku yang memang tidak terbiasa.


Sejurus kemudian, bayangan dirinya tergambar dalam imaji. Dalam tetes demi tetes vodka yang mulai bisa kunikmati, kucari alasan yang menyebabkan aku marah ketika mulutnya mengecap alkohol beberapa waktu lalu. Ya.. aku akui saat itu aku marah. Selama ini, kupikir alkohol adalah pencuri. Merampas kesadaran dan menjanjikan kenikmatan semu. Mengubah dia, bidadari pagiku, menjadi sosok lain yang tak lagi kukenali.


Sebelum alkohol menghempaskan diriku dalam ketidaksadaran, aku sempatkan untuk menghubunginya. Musik lounge yang sudah tidak asing kudengar kembali menjadi latar pembicaraan kami malam itu. Kuyakin alkohol telah bersandar apik di sisinya. Kemeriahan lounge tanpa alkohol mungkin tidak pernah ada.


Tak bisa kututupi, hatiku resah mengetahui itu. Malam telah menyelinapkan bidadari pagiku dalam dekapan hingar-bingar sebuah lounge. Sebentar lagi, alkohol akan mencuri kesadarannya dan menguapkan namaku dari ingatannya. Lalu ia akan mengalami amnesia sesaat sehingga luka yang menganga seakan tidak pernah ada. Aku hanya bisa berdoa dirinya akan baik-baik saja dan berharap vodka takkan memudarkan tentangnya dari pikiranku.


Hari telah berganti karena tengah malam baru saja terlewati. Sebagian besar orang di luar sana merayakan hari ini sebagai momen tepat penyematan kasih. Hari ini dinamakan dengan sebutan hari valentine. Banyak orang akan bertukar kado, bunga dan coklat. Seorang pencinta bahkan mungkin menyematkan cincin di jari kekasihnya di momen ini. Sementara itu, dibalik semua keceriaan yang ada, aku terjebak disini berteman vodka dan para sahabat. Kami berdiskusi tentang banyak hal. Ritual yang hampir sama yang kami lakukan di hari-hari lain.


Hatiku tersenyum ketika dia mempertanyakan kealpaanku mengucapkan selamat valentine kepadanya. Seandainya dia mengerti, ucapan menjadi tidak berarti ketika kita mampu mengerti bahasa hati. Aku mengasihinya di setiap waktu dan tidak mau semua itu terkesan tak berarti hanya karena satu hari yang memanipulasi. Perayaan di hatiku berlangsung tanpa cokelat dan bunga namun kupastikan doa terpanjat agar tetap bisa kumenjaga perasaan. Kuyakin, tiada hal yang lebih melegakan daripada itu.


Entah sudak tenguk keberapa yang kulakoni. Entah berapa banyak topik diskusi yang berganti. Aku tetap tak terpuaskan. Bagiku alkohol tetaplah pencuri. Pencuri hati layaknya cinta yang datang tiba-tiba, yang tidak dipaksakan hadir di saat valentine saja. Dia memang seringkali meninggalkan memar dan lebam di hati. Namun kita dengan sukarela memasuki siksa itu karena ada kebahagiaan luar-biasa dibalik duka. Tidaklah salah apabila untuk sekali ini kita mencicipinya.


Dan... inilah kondisi terbaik yang dihasilkan minuman. Aku tidak mabuk dan masih bisa tegap berjalan, tidak sempoyongan. Pikiran jauh lebih rileks. Sensitifitas tinggi tapi emosi dalam keadaan stabil. Badanku juga terasa ringan. Sayangnya keadaan itu tidak bertahan lama.


Tiba-tiba, sakit maagku kambuh. Sesungguhnya, inilah alasan mengapa aku tidak begitu berminat mengecap alkohol. Jika sudah seperti itu, maka kubutuhkan sesuatu yang lebih dahsyat dari alkohol. Sesuatu yang lebih ceria daripada valentine. Sebuah kalimat yang akan selalu mujarab menyembuhkan. Suara bidadari pagiku yang berujar ’Obatnya diminum yah!.’


Dean.

Kamis, 11 Februari 2010

Kegundahan – kegundahan itu menyergapku lagi
Mulai merenggut jam – jam tidur dan menyerap energiku
Kegundahan yang sama.. pertanyaan yang sama
“Adakah aku akan menemukanmu kelak?”
Seseorang dengan mimpi serupa mimpiku
Yang membangunkanku lembut saat shubuh menjelang
Yang menghabiskan sisa hari bersama mendaki mimpi-mimpi
Dan mengiringiku melampaui sunyi dalam rekatan jemari
Engkau yang tersembunyi namun hadir
Engkau yang mampu mengerti ..
Segala arti kegundahan yang ku rasa saat ini.


Dean.
-Saat terbangun dengan sisa mimpi buruk-

Rabu, 10 Februari 2010

Izinkan aku mengawalinya dengan benar, ucapku lagi dalam hati. Akan lebih mudah bagiku untuk menemui kalian dalam keadaan seperti ini. Terlalu lama kita hidup menjadi bayang-bayang bagi satu sama lain. Biarkan aku mendekati kalian dengan perlahan, sampai pagi terbit bagi kita bersama. Tak ada lagi bayangan. Kita lebur dalam kenyataan.

(Dee)

***

Awalnya, menulis hanya berlaku sebagai bentuk eksistensiku di dunia nyata. Cukup lama aku menggeluti dunia literasi. Bahkan, blogging kujabani semenjak friendster masih pada masa keemasannya. Aku banyak menulis artikel ilmiah, tentang masalah sosial kemasyarakatan yang kini kian marak dan tampak tanpa solusi maupun tentang politik dan tetek-bengeknya yang semakin lama semakin memuakkan.


Melalui proses menulis dan menyaksikan karya-karya itu lahir tidak lantas membuatku lega. Tetap ada kejujuran yang kutelan. Aku tidak mau selamanya menjadi sosok panutan hanya karena menulis tentang moral dan norma. Ada satu sisi diriku yang terusik dan merasa bertentangan. Seperti topeng yang harus kukenakan setiap hari. Ternyata tidak selamanya terlihat baik di mata orang itu menyenangkan.


Semenjak itulah aku mencari. Lalu aku bertemu kalian. Berkenalan serta bertukar kisah atas dasar kegelisahan hati yang serupa. Hingga lambat-laun, aku menikmati memiliki dua account e-mail; dua account facebook; mempunyai dua identitas. Aku nyaman menjadi seseorang yang kalian kenal.


Ada rasa lega tak terucap ketika harus jujur berkata ‘yes.. i’m a lesbian’. Dan dalam pemahaman yang sama, tidak ada seorang pun dari kalian yang menghakimi orientasi seksualku. Tetapi dalam hal ini, apakah norma dapat memaklumiku?. Jawabannya sudah pasti.. TIDAK.


Hal itu yang membuat pencarianku semakin menjadi-jadi hingga akhirnya aku sampai disini. Di suatu titik dimana aku bisa menyeringai lebar bahkan mengharu biru. Ada emosi tak biasa terbit di dada ketika menyelami makna dari setiap kata.. dalam catatan dan blog kalian. Tulisan kalian seperti menjawab kegelisahan hatiku.


Layaknya sebuah Spirits of the Laws dari Montesquieu, goresan pena kalian begitu memikat dan mampu menghantarku kepada sebuah kesadaran baru. Aku tak ingin terus meninggalkan jejak kebohongan dalam setiap frasa yang kutulis. Kutelisik hati dan kutergerak untuk membuat blog ini.


Kini, aku merasa haus akan karya dan tangan hangat kalian yang terbuka. Maka izinkan aku mengawalinya dengan benar. Izinkan aku berbagi dan mengenal kalian melalui blog sederhana ini.


Dean.
Untuk kalian, para lesbian yang telah berhasil menginspirasi ..

Jumat, 29 Januari 2010

This is my first blog

.

_
 

Copyright 2010 Welcomers you.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.