Seburuk apapun lukisan hidup yang tergambar, pajanglah di dinding-dinding hati karena di suatu hari ketika kita punya kesempatan untuk menengok ke belakang dan melihatnya, kita akan tersenyum.
(Cinta Sakura)
***
Pernahkah kau merasa ingin menghapus seseorang yang pernah hadir mengisi indah hari-harimu?. Itulah yang kurasakan saat ini. Tetapi di saat pikiran coba menguburnya jauh di dalam tong sampah bernama masa lalu, seketika kuingat ejawatah dari seorang temanku. Maka, baiklah.. kucoba untuk mengumpulkan kepingan tentangnya dalam ingatan yang sesungguhnya sudah sedikit tersisa. Kucoba satu per satu menguntai kenangan itu.
Lima menit pertama berlalu.. aku tak berhasil mengingat apa-apa..
Sepuluh menit kemudian.. gurat wajahnya mulai bisa ku ingat..
Hingga.. di menit ke-20.. kejadian itu melintas jelas di ingatanku..
Kejadian di hari itu mungkin hal yang paling sulit dilupakan. Emosiku sudah sampai di titik puncaknya. Emosi yang kupendam semenjak sebelum mesin motor dipanaskan, tepatnya setelah seseorang di ujung telepon sana dengan seenaknya membentak-bentak pacarku tanpa alasan. Seorang psychotic yang mengaku sebagai Butchi ini sepertinya sangat terobsesi untuk bertemu dengan pacarku yang juga adalah mantan pacarnya. Pacarku sudah sangat geram dan semakin penasaran untuk menemuinya. Pacarku rupanya masih belum benar-benar percaya kalau mantan pacarnya memang benar-benar psychotic. Huff..
Dengan itikad baik agar pacarku tidak dianiaya seorang psychotic, saat itu kucoba meredam emosi dan kusanggupi mengantar pacarku bertemu dengan sang mantan. Bodohnya, aku tak mengindahkan bahasa alam yang sudah melarang kami pergi. Saat itu, angin menderu kencang mempermainkan hujan hingga bulir-bulir hujan dengan kasar berjatuhan ke bumi. Ternyata apa yang diisyaratkan alam terbukti, emosiku semakin menjadi-jadi setelah alamat sang mantan tidak mudah untuk ditemukan. Petunjuk yang diberikan benar-benar ngaco dan membuat kami hampir nyasar. Sementara itu, dengan seenaknya dia membentak-bentak pacarku yang tidak lekas datang menemuinya tanpa dia tahu hujan tak kenal ampun mengguyur badan kami. Bete total.
Dengan susah payah, akhirnya kutemukan alamat itu. Pertemuan itu berlangsung singkat di sebuah rumah sederhana. Kubiarkan pacarku dan sang mantan mengobrol melepas rindu, haih... Aku sudah terlanjur bete dan memilih menghabiskan Pop Iceku daripada nimbrung mengobrol dengan mereka. Saat itu, ingin kuhajar muka innocentnya yang pura-pura baik di depanku. Masih terekam di kepalaku bagaimana kasarnya dia membentak-bentak pacarku di beberapa percakapan telepon.
Dua puluh lima menit berlalu dan aku tak tahan lagi. Ku kirim SMS pada pacarku untuk memintanya pulang. Pacarku menurut, kami pulang. Sesaat sebelum kami pulang, geblegnya pacarku sempat bermanis-manis ria pada sang mantan di depan mataku. Menyebalkan sekali apalagi ketika salamku sama sekali tak digubris oleh Butchi itu. Saat itu aku begitu dikuasai emosi dan seketika lupa bagaimana caranya mengendarai sepeda motor. Jalanan perumahan Cigadung sore itu boleh dibilang lengang sehingga kupacu sepeda motor dalam kecepatan yang lumayan. Hujan yang baru saja reda membuat jalanan basah. Di sebuah turunan yang licin, mataku menggelap dan.. CRACKKK.. kami terjatuh dari sepeda motor.
Hmmm..
Aku memanggilnya dengan sebutan Ran. Dia.. yang badannya kubuat memar-memar karena mencium aspal Cigadung kini telah menjadi mantan pacarku. Aku mengenalnya saat sejuk angin Februari berlalu. Terik mentari April akhirnya mengantarku menjumpainya. Seorang perempuan sederhana yang mempunyai mimpi-mimpi besar. Seorang anak yang sangat berbakti pada orang-tua dan begitu taat beragama. Di suatu dini hari yang dingin, aku memberanikan diri memintanya menjadi pacarku.
Jika pepatah mengatakan bahwa Tuhan akan menghadirkan seseorang yang istimewa dalam waktu dan cara yang indah maka hal itu tidak berlaku bagi hubungan kami. Dia datang di waktu yang paling tidak tepat. Waktu di saat keluargaku sedang ditimpa banyak masalah berat; dari mulai masalah perceraian orang tuaku hingga masalah ekonomi. Dengan kehadirannya, ku harapkan bebanku berkurang karena ada seseorang yang mampu diajak berbagi ternyata harapan itu salah besar. Ternyata hadirnya malah membawa tambahan beban masalah untukku.
Begitu banyak pengalaman pertama yang kubagi dengannya walaupun hubungan kami tidak pernah sampai di anniversary pertama, sampai di satu bulan maksudnya. Dan selama 22 hari, aku hidup dalam kebohongannya. Begitu banyak yang dia sembunyikan dariku, entah tentang kegiatan atau interaksinya dengan beberapa mantan pacar. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang dia ingin memiliki ruang privasi itu. Tetapi lambat-laun, ketidakterbukaan dan ketidakpercayaan malah menghancurkan pondasi hubungan kami.
Banyak yang tak kumengerti dari sikapnya. Perasaannya begitu sulit ditebak dan sampai saat ini, aku tak pernah tahu kesungguhan perasaannya terhadapku. Cara dia mencintaiku begitu rumit hingga aku terjerembab dalam kebingungan-kebingungan yang tak perlu. Ribuan tanda-tanya bersarang di kepalaku. Ada apa? Kenapa?, hal itu tak pernah bisa kami jawab.
Tetapi di balik semua itu, kurasakan hatiku mulai menghangat ketika mengingat jilbab yang sering ia kenakan. Bagaimanapun ia pernah hadir dalam hidupku dan mengajariku cara mencintai Tuhan. Mungkin benar, aku belum mengenalnya secara utuh sehingga kami hidp dalam bayang-bayang satu sama lain. Dia menyediakan semua keperluanku setiap hari tapi entah kenapa kurasa tetap ada ruang kosong dalam hati. Kuinvestasikan sebuah ruang kosong itu pada waktu tetapi sebelum waktu sempat menjawab, kenyataan menentukan lain.
Kami sampai di siang itu dimana kata-katanya begitu menyakiti hatiku. Walaupun SMS hanya mampu menyuguhkan guratan kata-kata tapi kata demi kata itu begitu tajam membuat luka pada perasaan. Di baris akhir SMS itu, tercatatlah permintaannya untuk putus. Aku ikhlas mengabulkan permintaannya untuk mengakhiri hubungan ini dan menjalani hidup tanpaku. Benar-benar tanpaku.. karena akhirnya dia membatasi semua media komunikasi yang kami punya termasuk facebook.
Untuk Ran yang pernah singgah di hidupku, walaupun lukisan hidup kita tak tergores indah tetapi akan tetap kupajang di dinding-dinding hati. Sehingga nanti, aku mampu mengingatmu dan berujar syukur karena kau mampu mendekatkan-Ku dengan Tuhan. Aku tahu sampai kini kau masih menyimpan mimpi-mimpi besar itu, maka gapailah meski aku hanya mampu mendampingimu dengan do’a.. mari kita mulai hidup kita masing-masing dengan Basmallah.. Ran for your life!.
Dean.
(Cinta Sakura)
***
Pernahkah kau merasa ingin menghapus seseorang yang pernah hadir mengisi indah hari-harimu?. Itulah yang kurasakan saat ini. Tetapi di saat pikiran coba menguburnya jauh di dalam tong sampah bernama masa lalu, seketika kuingat ejawatah dari seorang temanku. Maka, baiklah.. kucoba untuk mengumpulkan kepingan tentangnya dalam ingatan yang sesungguhnya sudah sedikit tersisa. Kucoba satu per satu menguntai kenangan itu.
Lima menit pertama berlalu.. aku tak berhasil mengingat apa-apa..
Sepuluh menit kemudian.. gurat wajahnya mulai bisa ku ingat..
Hingga.. di menit ke-20.. kejadian itu melintas jelas di ingatanku..
Kejadian di hari itu mungkin hal yang paling sulit dilupakan. Emosiku sudah sampai di titik puncaknya. Emosi yang kupendam semenjak sebelum mesin motor dipanaskan, tepatnya setelah seseorang di ujung telepon sana dengan seenaknya membentak-bentak pacarku tanpa alasan. Seorang psychotic yang mengaku sebagai Butchi ini sepertinya sangat terobsesi untuk bertemu dengan pacarku yang juga adalah mantan pacarnya. Pacarku sudah sangat geram dan semakin penasaran untuk menemuinya. Pacarku rupanya masih belum benar-benar percaya kalau mantan pacarnya memang benar-benar psychotic. Huff..
Dengan itikad baik agar pacarku tidak dianiaya seorang psychotic, saat itu kucoba meredam emosi dan kusanggupi mengantar pacarku bertemu dengan sang mantan. Bodohnya, aku tak mengindahkan bahasa alam yang sudah melarang kami pergi. Saat itu, angin menderu kencang mempermainkan hujan hingga bulir-bulir hujan dengan kasar berjatuhan ke bumi. Ternyata apa yang diisyaratkan alam terbukti, emosiku semakin menjadi-jadi setelah alamat sang mantan tidak mudah untuk ditemukan. Petunjuk yang diberikan benar-benar ngaco dan membuat kami hampir nyasar. Sementara itu, dengan seenaknya dia membentak-bentak pacarku yang tidak lekas datang menemuinya tanpa dia tahu hujan tak kenal ampun mengguyur badan kami. Bete total.
Dengan susah payah, akhirnya kutemukan alamat itu. Pertemuan itu berlangsung singkat di sebuah rumah sederhana. Kubiarkan pacarku dan sang mantan mengobrol melepas rindu, haih... Aku sudah terlanjur bete dan memilih menghabiskan Pop Iceku daripada nimbrung mengobrol dengan mereka. Saat itu, ingin kuhajar muka innocentnya yang pura-pura baik di depanku. Masih terekam di kepalaku bagaimana kasarnya dia membentak-bentak pacarku di beberapa percakapan telepon.
Dua puluh lima menit berlalu dan aku tak tahan lagi. Ku kirim SMS pada pacarku untuk memintanya pulang. Pacarku menurut, kami pulang. Sesaat sebelum kami pulang, geblegnya pacarku sempat bermanis-manis ria pada sang mantan di depan mataku. Menyebalkan sekali apalagi ketika salamku sama sekali tak digubris oleh Butchi itu. Saat itu aku begitu dikuasai emosi dan seketika lupa bagaimana caranya mengendarai sepeda motor. Jalanan perumahan Cigadung sore itu boleh dibilang lengang sehingga kupacu sepeda motor dalam kecepatan yang lumayan. Hujan yang baru saja reda membuat jalanan basah. Di sebuah turunan yang licin, mataku menggelap dan.. CRACKKK.. kami terjatuh dari sepeda motor.
Hmmm..
Aku memanggilnya dengan sebutan Ran. Dia.. yang badannya kubuat memar-memar karena mencium aspal Cigadung kini telah menjadi mantan pacarku. Aku mengenalnya saat sejuk angin Februari berlalu. Terik mentari April akhirnya mengantarku menjumpainya. Seorang perempuan sederhana yang mempunyai mimpi-mimpi besar. Seorang anak yang sangat berbakti pada orang-tua dan begitu taat beragama. Di suatu dini hari yang dingin, aku memberanikan diri memintanya menjadi pacarku.
Jika pepatah mengatakan bahwa Tuhan akan menghadirkan seseorang yang istimewa dalam waktu dan cara yang indah maka hal itu tidak berlaku bagi hubungan kami. Dia datang di waktu yang paling tidak tepat. Waktu di saat keluargaku sedang ditimpa banyak masalah berat; dari mulai masalah perceraian orang tuaku hingga masalah ekonomi. Dengan kehadirannya, ku harapkan bebanku berkurang karena ada seseorang yang mampu diajak berbagi ternyata harapan itu salah besar. Ternyata hadirnya malah membawa tambahan beban masalah untukku.
Begitu banyak pengalaman pertama yang kubagi dengannya walaupun hubungan kami tidak pernah sampai di anniversary pertama, sampai di satu bulan maksudnya. Dan selama 22 hari, aku hidup dalam kebohongannya. Begitu banyak yang dia sembunyikan dariku, entah tentang kegiatan atau interaksinya dengan beberapa mantan pacar. Aku sama sekali tidak keberatan jika memang dia ingin memiliki ruang privasi itu. Tetapi lambat-laun, ketidakterbukaan dan ketidakpercayaan malah menghancurkan pondasi hubungan kami.
Banyak yang tak kumengerti dari sikapnya. Perasaannya begitu sulit ditebak dan sampai saat ini, aku tak pernah tahu kesungguhan perasaannya terhadapku. Cara dia mencintaiku begitu rumit hingga aku terjerembab dalam kebingungan-kebingungan yang tak perlu. Ribuan tanda-tanya bersarang di kepalaku. Ada apa? Kenapa?, hal itu tak pernah bisa kami jawab.
Tetapi di balik semua itu, kurasakan hatiku mulai menghangat ketika mengingat jilbab yang sering ia kenakan. Bagaimanapun ia pernah hadir dalam hidupku dan mengajariku cara mencintai Tuhan. Mungkin benar, aku belum mengenalnya secara utuh sehingga kami hidp dalam bayang-bayang satu sama lain. Dia menyediakan semua keperluanku setiap hari tapi entah kenapa kurasa tetap ada ruang kosong dalam hati. Kuinvestasikan sebuah ruang kosong itu pada waktu tetapi sebelum waktu sempat menjawab, kenyataan menentukan lain.
Kami sampai di siang itu dimana kata-katanya begitu menyakiti hatiku. Walaupun SMS hanya mampu menyuguhkan guratan kata-kata tapi kata demi kata itu begitu tajam membuat luka pada perasaan. Di baris akhir SMS itu, tercatatlah permintaannya untuk putus. Aku ikhlas mengabulkan permintaannya untuk mengakhiri hubungan ini dan menjalani hidup tanpaku. Benar-benar tanpaku.. karena akhirnya dia membatasi semua media komunikasi yang kami punya termasuk facebook.
Untuk Ran yang pernah singgah di hidupku, walaupun lukisan hidup kita tak tergores indah tetapi akan tetap kupajang di dinding-dinding hati. Sehingga nanti, aku mampu mengingatmu dan berujar syukur karena kau mampu mendekatkan-Ku dengan Tuhan. Aku tahu sampai kini kau masih menyimpan mimpi-mimpi besar itu, maka gapailah meski aku hanya mampu mendampingimu dengan do’a.. mari kita mulai hidup kita masing-masing dengan Basmallah.. Ran for your life!.
Dean.